WASPADALAH: BAHAYA LATEN KOMUNISME DAN ANCAMAN NYATA KOMUNISME
Isu kembali bangkitnya komunisme di bangsa ini mulai menyita perhatian publik. Hal ini berawal dengan adanya Simposium Nasional tentang Tragedi 1965 yang dilakukan Pemerintah. Pada kesimpulan akhir simposium yang dibacakan oleh Sidarto Danusubroto, peserta simposium mengakui adanya aksi horizontal dalam Tragedi 1965 dan meminta negara mengakui keterlibatannya. Bukti lainnya adalah munculnya atribut dan simbol, seperti pin dan kaus yang bertuliskan simbol Partai Komunis Indonesia (PKI) serta meningkatnya gelombang pekerja dari negara Cina yang notabene menganut paham komunisme.
Menyikapi hal ini, Menkopulhukam saat itu, Luhut B Panjaitan terkesan memandang biasa. Luhut mengatakan, “Ya ini dilihat-lihatlah. Kalau ada satu atau dua kaus, ini juga bisa tren anak muda juga. Lihat-lihatlah, jangan berlebihan.” (9/5/2016). Hal senada disampaikan oleh Pramono Anung (13/5/2016). Sekretaris Kabinet (Seskab) ini mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara langsung telah memerintahkan kepada Kapolri Jenderal Pol. Badrodin Haiti (Kapolri saat itu) dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk menghentikan sweeping atribut dan kegiatan yang berkaitan dengan PKI.
Tidak mengherankan, sikap ini menimbulkan reaksi keras. Abdurrahman Sampara (Lapmas) menegaskan, “PKI itu pilihannya adalah kalau kita tidak membunuh mereka maka kita yang akan dibunuh oleh mereka. Kalau kita tidak merespon dengan cepat maka PKI jalan terus dan siap membunuh kita”. Hal ini juga, sontak memantik keprihatinan sekaligus kemarahan berbagai pihak. Beberapa elemen masyarakat yang dimotori para purnawirawan TNI dan keluarga korban PKI membuat simposium tandingan dengan tajuk, “Mewaspadai PKI”.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang menghadiri simposium itu menyebut ada yang lebih berbahaya dari PKI, yakni neoliberalisme dan neokapitalisme. Menurut dia, komunisme PKI berbahaya, namun yang lebih berbahaya adalah neokapitalisme dan neoliberalisme (Detik, 2/6/2016). Salah satu ketua Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam mengatakan, “PKI yang marak dengan simbol-simbol dibiarkan, justru umat islam yang hendak menyelamatkan negeri ini dengan Islam malah dituduh anti Pancasila. Umat pun dipecah-belah. Padahal kalaulah dalam tubuh umat Islam ada beda dalam masalah fikih dan pandangan, itu tetap saudara. Herannya, justru pihak yang beda akidah malah dijadikan teman, sesama Muslim malah dimusuhi. Jangan sampai umat Islam mau diadu domba, dibungkam, dituduh, bahkan difitnah”.
Pada sisi yang lain, mantan Menteri Keuangan di Era Rezim Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Mulyani, kembali masuk kabinet. Dalam reshuffle kabinet yang dilakukan oleh Presiden Jokowi tanggal 27 Juli Tahun 2016, dia menduduki pos yang dulu pernah dia duduki sebagai menteri keuangan. Kehadiran Sri Mulyani ditanggapi beragam oleh beberapa kalangan. Sebagian kalangan menanggapi positif. Bahkan kehadiran Sri Mulyani menjadi tumpuan harapan baru untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk. Sebagian lagi menganggap ini adalah bentuk politik transaksional untuk mempertahankan dominasi Amerika atau barat. Pasalnya, kebijakan ekonomi saat ini sangat pro kapitalis Cina. Yang lainya menganggap kehadiran Sri Mulyani akan makin meliberalkan ekonomi Indonesia yang saat ini sudah liberal. Dari kebijakan-kebijakan Sri Mulyani selama ini menunjukkan bahwa dia ekonom yang berhaluan liberal. Bahkan dia menjadi bagian dari Mafia Berkeley yang membentuk perekonomian negeri ini bercorak neoliberal. Selama menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia (World Bank) Sri Mulyani juga terus memperhatikan liberalisasi ekonomi yang terjadi dinegeri ini dengan memberikan pujian terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo dalam mengatasi hambatan perdagangan.
Sebagai sebuah ideologi, sosialisme-komunisme akan selalu menjadi ancaman potensial (bahaya laten) bagi bangsa. Pasalnya, secara historis komunisme PKI telah menoreh sejarah luka dan berdarah-darah bagi negeri ini. Hanya saja, seluruh dan segenap elemen bangsa perlu menyadari benar, bahwa saat ini kapitalismelah yang telah, sedang dan tetap mencengkeram, menjajah negeri ini dan terus aktif memproduksi berbagai petaka dan kerusakan.
Kapitalisme menjadikan pasar sebagai asas ekonomi untuk mendistribusikan barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat. Akses terhadap barang dan/atau jasa diberikan kepada setiap individu dalam masyarakat yang memiliki andil dalam rantai produksi. Pasar pun memiliki peran menentukan harga sekaligus menetapkan siapa saja yang layak untuk berkontribusi sebagai produsen dan menangguk laba dari pertukaran barang dan jasa. Produksi dan distribusi barang dan jasa terjadi secara bebas di pasar (Laissez-Faire). Pemanfaatan hasil produksi dibatasi dan dikhususkan hanya bagi mereka yang mampu mengakses harga atas barang dan jasa.
Kapitalisme tidak pernah memikirkan kebutuhan manusia dan bagaimana cara menjamin ketersediaannya. Kapitalisme juga tidak memikirkan keterbatasan manusia yang memiliki kebutuhan di satu sisi, namun terhalang untuk mendapatkan akses hasil produksi karena keterbatasan dalam andil berproduksi di sisi yang lain. Kapitalisme sama sekali tidak memikirkan orang-orang yang dengan segala keterbatasannya terpaksa tersingkir keluar dari rantai distribusi.
Konsep kebebasan individu diikuti dengan kebebasan kepemilikan menjadikan siapapun yang memiliki akses atas modal dan alat-alat produksi dapat menguasai dan memonopoli pasar. Tidak diperhatikan lagi apakah kebebasan tersebut akan menghalangi individu lainnya untuk memenuhi hajat dan kebutuhannya, bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan yang sifatnya primer. Dalam sistem Kapitalisme manusia akan saling memangsa, manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).
Kapitalisme, dalam mengatur urusan publik, menerapkan sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memandang wewenang untuk mengatur masyarakat ada pada kehendak atau suara rakyat. Rakyat dalam sistem demokrasi dipandang sebagai sumber hukum dan kedaulatan. Rakyat memiliki wewenang untuk menentukan baik dan buruk, terpuji atau tercela, halal maupun haram.
Dengan jargon “dari, oleh dan untuk rakyat”, penguasa dalam sistem demokrasi mendapat legitimasi untuk mengatur masyarakat, menentukan halal dan haram bagi masyarakat, memberikan perintah dan larangan, bahkan sampai menghukum individu masyarakat yang melanggar aturan yang ditetapkan penguasa. Secara konseptual, demokrasi-kapitalisme telah memindahkan kedaulatan dan wewenang untuk membuat hukum kepada akal manusia. Demokrasi telah menjadikan mantra syirik “kedaulatan rakyat” sebagai asas sekaligus argumen untuk mengatur rakyat, melaksanakan pemerintahan, menjalankan roda perekonomian, mengatur hubungan sosial, bahkan menetapkan standar dan ukuran kebahagiaan bagi masyarakat.
Meskipun demikian, secara faktual demokrasi sesungguhnya tidak pernah sedikitpun menjadikan rakyat berdaulat. Kedaulatan rakyat hanya digunakan untuk menipu rakyat karena dipandang telah menjadi asas dan tujuan pemerintahan. Padahal kuasa kapitallah yang memiliki daulat untuk mengatur pemerintahan dan rakyat. Kaum kapitalis mendiktekan kehendaknya melalui penguasa agar diadopsi menjadi kebijakan dan pengaturan, hukum dan perundang-undangan yang diterapkan negara dan dipaksakan kepada rakyat.
Kaum kapitalis baik individu maupun korporasi, swasta asing maupun dalam negeri, terus mempengaruhi kebijakan pengaturan masyarakat agar menguntungkan bisnis dan usahanya. Rakyat hanya dipandang sebagai pasar. Regulasi dan kebijakan dibuat untuk memudahkan akses para kaum kapitalis berbisnis dan mengambil keuntungan dari rakyat. Alhasil, kekuasaan tidak dijalankan untuk mengatur dan mengurusi kebutuhan dan kemaslahatan rakyat, melainkan untuk melayani kepentingan kaum kapitalis.
Kapitalisme telah menjadikan kebebasan kepemilikan sebagai dasar untuk mengatur ekonomi. Karena itu tidak aneh jika sumber-sumber produksi yang menguasai hajat hidup rakyat seluruh barang tambang, air, energi, padang gembalaan dan hutan dikangkangi oleh para pemilik modal.
Para kapitalis melalui korporasinya menguasai seluruh harta milik umat untuk dieksploitasi demi keuntungan mereka. Alhasil, keberadaan sumberdaya alam yang melimpah yang seyogyanya memberikan kemaslahatan dan berkah bagi umat tidak memberikan faedah sedikitpun karena dikuasai dan diambil manfaatnya oleh segelintir orang saja.
Pada periode zaman penjajahan, rakyat negeri ini ditindas dan dieksploitasi secara fisik oleh Belanda untuk menyediakan bahan baku berupa hasil bumi yang tumbuh subur di bumi pertiwi. VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) bertindak sebagai korporasi kapitalis yang mengeruk kekayaan Bumi Pertiwi. Meskipun VOC merupakan sebuah persekutuan badan dagang, badan dagang ini menjadi istimewa karena didukung penuh oleh penguasa (Belanda) dan diberi berbagai fasilitas yang istimewa.
Beberapa pengkhianat dari kalangan anak bangsa, berkolaborasi dengan penjajah Belanda untuk menzalimi bangsa sendiri. Para antek penjajah ini melacurkan diri dan memberikan sumpah setia untuk melindungi kepentingan majikan, hanya demi sekerat tulang dunia yang tidak mengenyangkan.
Komentar
Posting Komentar