KONSEKUENSI PENERAPAN DEMOKRASI SECARA SUBSTANSIAL
Orang sering mengatakan, apapun sistem politiknya, yang penting rakyat sejahtera. Dari sekian sistem politik yang ada, demokrasi dipercaya sebagai sistem politik terbaik yang akan mewujudkan misi itu. Dengan kemampuan memberikan ruang cukup luas pada aspirasi rakyat, penghargaan pada keragamaan atau pluralitas dengan tetap memberikan kebebesan, baik kebebasan berpendapat dan berkelompok, maupun kebebasan berekspresi, demokrasi dipercaya bisa mengakomodasi kepentingan seluruh anggota masyarakat, termasuk dalam memperlakukan kelompok rakyat miskin dan kaya sehingga kesejahteraan bersama bisa diwujudkan. Secara umum pelaksanaan demokrasi Indonesia bisa di evaluasi melalui prosedural dan substansial.
Namun, ada yang perlu di telaah dari pendapat ilmuwan politik yang berkaitan dengan demokrasi di Indonesia baik secara prosedural dan substansial. Sejumlah ilmuwan politik mengatakan bahwa Indonesia sebagai negeri muslim terbesar belum sepenuhnya berhasil dalam mempraktikkan demokrasi. Roy pada tahun 1994 dalam bukunya the failure of political Islam berpandangan sinis terhadap eksistensi dan artikulasi Islam politik di belahan bumi muslim. Hal senada juga dikatakan oleh Volpi pada tahun 2004. Volpi melihat fenomena kemunculan demokrasi di dunia muslim sebagai pseudo democracy, yakni sebuah tatanan politik yang mencoba menyerupai demokrasi liberal tanpa upaya nyata untuk menjadi demokrasi liberal. Sedangkan Hadiz pada tahun 2004, menyebut demokrasi muslim seperti terjadi di Indonesia sebagai illiberal democracy, sejenis demokrasi yang menyamar, dan bukan demokrasi itu sendiri.
Dari pelaksanaan demokrasi secara prosedural, sejumlah ilmuwan politik Indonesia memahami demokrasi compatible dengan Islam. Seperti dikatakan oleh Rachman pada tahun 2010 antara nilai Islam dengan demokrasi tidak ada yang perlu dipertentangkan. Lebih lanjut Rachman menjelaskan bahwa prinsip demokrasi sebagai sesuatu yang sangat penting bukan hanya untuk umat Islam, tetapi sekaligus sebagai bagian yang harus diperjuangkan oleh para politisi muslim serta umat Islam Indonesia. Demokrasi akan membuat kehidupan berbangsa yang plural ini akan berjalan dengan harmonis karena nilai-nilai keadilan mendasari etika hidup berbangsa dan bermasyarakat.
Hal senada juga dikatakan oleh Assyaukanie pada tahun 2011. Islam sejalan dengan sistem demokrasi modern. Demokrasi modern adalah demokrasi liberal yang di dalamnya mencakup pemilu, partai politik, bentuk negara bangsa, lembaga perwakilan rakyat, kebebasan individu, kebebasan pers, dan sebagainya. Menurutnya, demokrasi bisa tegak karena adanya kebebasan individu. Individu mempunyai kebebasan untuk berserikat, seperti mendirikan partai politik, mengikuti pemilu, memilih wakil rakyat, dan sebagainya. Karena elemen-elemen tersebut merupakan pilar-pilar demokrasi liberal.
Abdalla pada tahun 2011, menguatkan pendapat kolega-koleganya di atas. Menurutnya, Islam tidak mengenal konsep pemerintahan secara definitif. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, sudah jelas diatur mekanisme pergantian kekuasaan, partai politik, lembaga perwakilan, dan sebagainya. Karena itu, umat Islam harus menerima demokrasi. Sistem demokrasi merupakan buah dari evolusi pemikiran umat manusia yang harus diapresiasi tinggi. Pemikiran ini sudah berproses sejak zaman Yunani kuno hingga zaman sekarang. Jadi yang perlu dilakukan oleh umat Islam adalah memasukkan nilai-nilai (values) Islam ke dalam demokrasi. Dan itu tidaklan sulit karena Islam merupakan agama yang terbuka.
Dalam kaitannya dengan demokrasi substansial (nilai-nilai demokrasi), seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, dan kesetaraan gender. Sejumlah tokoh politik dapat menerima sepenuhnya ide-ide ini. Menurut mereka, sekularisme adalah paham pemisahan agama dan politik. Namun demikian, sekularisme tidak anti terhadap agama. Dalam pandangannya, sekularisme merupakan prasyarat terwujudnya masyarakat demokratis. Tanpa ada sekularisme mustahil bangsa Indonesia dapat menerapkan demokrasi yang sesungguhnya. Assyaukanie mengatakan landasan demokrasi sendiri adalah sekularisme, dan negara yang menerapkan demokrasi adalah negara yang sekular. Itu sebuah aksioma yang tidak dapat di tawar-tawar lagi. Tidak mungkin demokrasi tumbuh dalam platform negara yang berbentuk agama atau ideologi tertentu yang anti demokrasi. Dengan aksioma seperti itu, dia ingin mengatakan, kalau negara-negara muslim mengadopsi demokrasi, maka mereka harus mengadopsi prinsip-prinsip negara sekular. Hanya dengan prinsip sekularisme demokrasi dapat berkembang. Dengan demikian, kalau Indonesia tetap menginginkan demokrasi maka tak ada pilihan lain kecuali menjadi negara sekular.
Definisi umum sekularisme, sebagaimana disampaikan oleh Abdalla adalah memisahkan kekuasaan kaum agama dan kekuasaan negara. Negara sekular artinya negara yang tidak dikuasai ulama seperti Iran yang mengenal konsep wilayat alfaqih (kekuasaan kaum ulama). Dia mengatakan sekularisme tidak dapat dihindarkan, terutama disebabkan oleh modernisasi. Peran lembaga agama pasti semakin merosot karena adannya proses diferensiasi dan spesialisasi dalam masyarakat. Sekarang agama tidak dapat mengurusi segala hal. Inti sekularisme adalah bahwa tidak dimungkinkannya totalitarianisme, tidak dimungkinkannya dominasi suatu bidang secara menyeluruh, misalnya agama atau negara mau mengatur segala hal. Jadi sekularisme adalah satu sistem di mana secara kelembagaan dimungkinkan terjadi diferensiasi atau pembedaan-pembedaan di segala bidang. Jadi kalau wilayah agama adalah wilayah ritual dan makna hidup, maka seharusnya di wilayah itu saja.
Penjelasan sekularisasi tersebut tidak jauh beda dengan apa yang disampaikan oleh para teoritikus modernisasi yang berpendapat bahwa modernisasi, yang ditandai dengan diferensiasi sosial atau pembagian kerja dan rasionalisasi dalam masyarakat, menjadikan peran agama dalam masyarakat, khususnya di bidang politik akan merosot. Namun demikian, diferensiasi struktural tidak kemudian membuat agama kehilangan signifikansinya dalam politik. Dari penjelasan di atas, jelas bahwa agama tetap dapat berperan dalam masyarakat sekular, hanya saja membutuhkan pemahaman yang lebih substansial. Menurut Abdalla, agama bukan resep jadi yang dapat dilaksanakan secara lengkap, tetapi harus dipandang sebagai seperangkat nilai-nilai dasar yang kemudian diturunkan menjadi semacam norma.
Akan halnya dengan liberalisme, kalangan aktivis juga menerima ide ini. Liberalisme atau paham kebebasan, terutama kebebasan beragama merupakan hak sipil yang sangat penting karena berkaitan erat dengan keyakinan seseorang. Paham ini, menurut Hamid sangat alamiah dan sesuatu yang tidak dapat dibantah, bahwa manusia sebagai individu bebas. Dalam liberalisme, batas kebebasan seseorang adalah kebebasan orang lain. Menurut Hamid, semangat dasar al-Qur’an adalah individualisme, yaitu bahwa setiap manusia bertanggungjawab pada Tuhannya, dan tidak ada kemungkinan untuk menolong dan ditolong orang lain.
Sementara itu, Assyaukanie memandang bahwa meskipun gerakan liberalisme di Indonesia mengambil ide dari Barat. Khazanah intelektual Islam mengenal konsep kebebasan. Dalam tradisi filsafat Islam ada kebebasan berpikir yang berusaha memberikan alternatif bagi pemahaman ortodoks. Dalam konteks ini, Mulia salah seorang muslimah mengatakan, jika liberalisme dipahami sebagai penghargaan terhadap hak-hak dasar, yang menyangkut masalah publik, seperti: hak hidup, hak berekspresi, hak menerima, hak beragama, dan sebagainya, maka agama merupakan elan vital perubahan. Dari sekian banyak kebebasan, kebebasan berkeyakinan dengan dalil tidak ada paksaan dalam beragama adalah prinsip penting dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Para pemikir ini sepakat dengan liberalisme sebagai fondasi dari demokrasi. Liberalisme memberikan inspirasi bagi semangat kebebasan berpikir. Prinsip liberalisme adalah menjunjung tinggi kebebasan individu, kebebasan politik dalam partisipasi demokratis, kesamaan antar-manusia, dan pluralisme. Abdalla mengatakan inti liberalismeadalah kebebasan individu (civil liberties). Jadi anda bebas untuk berpikir dan berbuat apa saja asal anda tidak mengganggu orang lain. Itu adalah prisip dasar liberalisme. Prinsip ini kemudian menciptakan hukum bagi dirinya sendiri. Artinya, pada akhirnya masyarakat liberal akan menciptakan hukumhukum untuk melindungi kebebasan masing-masing individu. Liberalisme tidak pernah mengarah pada destruksi, melainkan mengarah pada penciptaan hukum atau norma sosial yang melindungi kebebasan masing-masing individu.
Dari uraian pelaksanan demokrasi secara prosedural dan subtansial diatas. Ketika Indonesia menerapkan demokrasi, maka pelaksanaannya harus dilakukan secara prosedural dan subtansial. Sehingga Indonesia tidak menutup kemungkinan ke depan akan lebih sekuler, liberal dan plural. Jika saat ini, kita menemukan begitu banyak Undang-Undang (UU) yang bertolak belakang dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan dicurigai merupakan pesanan asing. Bahkan menurut Sundari terdapat 76 UU yang drafnya dilakukan dan intervensi oleh pihak asing. Inti dari intervensi ini adalah upaya meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Contohnya, UU tentang Minyak dan Gas (Migas), Kelistrikan, Perbankan dan Keuangan, Pertanian, serta Sumber Daya Air.
Komentar
Posting Komentar