IRONI LIBERALISASI SUMBER DAYA AIR DAN SOLUSINYA


Seolah sudah menjadi kelaziman di negeri ini setiap pemerintah daerah melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) melakukan tingkah yang tidak memberikan kepastian kualitas, kuantitas dan kontinuitas pengairan air minum selalu saja muncul kegaduhan sesudah tingkah tersebut. Kegaduhan itu turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan inflasi yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sehingga mempercepat proses pemiskinan rakyat. Munculnya kegaduhan tersebut mengindikasikan adanya permasalahan laten dalam pengelolaan Sumber Daya Air (SDA), utamanya berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan air dan menurunnya kualitas, kuantitas, serta kontinuitas ketersediaan air, yang memicu masyarakat membeli air kepada swasta dalam jumlah besar. 
Dalam menghadapi permasalahan laten tersebut, pemerintah selama ini tidak pernah menyentuh akar permasalahan di balik penurunan kualitas, kuantitas dan kontinuitas ketersediaan air. Salah satu akar masalahnya adalah tergerusnya kewenangan negara dalam pengelolaan sumber-sumber air yang selama ini pemerintah seolah ingin lepas tangan dan menyerahkannya kepada swasta (perusahaan asing). Tidak hanya sektor hulu saja, secara pelan tetapi pasti pengusahaan di sektor hilir pun juga terancam dikuasai oleh perusahaan asing. Modus penguasaan di sektor hulu dilakukan secara sistematik dan legal, yang didukung sepenuhnya oleh Undang-Undang (UU). Meskipun Undang-Undang Dasar (UUD) 1945  mengamanahkan kepada negara untuk menguasai sumber-sumber air yang terkandung di bumi Indonesia, tetapi UU di bawahnya justru kontradiktif. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA justru membuka peluang lebar-lebar bagi perusahaan asing atas penguasaan sumber-sumber air secara besar-besaran. Penguasaan sumber-sumber air tersebut juga dikuatkan dengan terbitnya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal, yang menyebutkan bahwa sektor SDA boleh dikuasai oleh perusahaan asing hingga mencapai 95%. 
Berlakunya kedua UU tersebut telah mendorong dominasi perusahaan asing dalm pengelolaan SDA. Data Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 260 PDAM, terdapat 25 proyek partipasi swasta (perusahaan asing) dalam penyediaan dan pengelolaan air bersih di Indonesia dan partisipasi swasta dalam pelayanan air minum didorong hingga mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 dengan cakupan 68,87%. Penilaian kinerja PDAM yang dilakukan oleh BPPSPAM terhadap 350 PDAM menunjukkan bahwa pada Tahun 2013, komitmen pemerintah daerah untuk pendanaan air minum hanya 0,04% dari total APBD Tahun 2012, selain itu masih terdapat 104 PDAM yang kurang sehat di Tahun 2013 (30%) dan 70 PDAM berstatus sakit (20%). Buruknya kondisi yang dialami oleh sebagian besar PDAM tidak terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi antara tingkat kebocoran air rata-rata 33%, tarif yang lebih rendah dari biaya produksi, hutang dari lembaga-lembaga keuangan dunia yaitu IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), WTO, UNESCO dan perusahaan air raksasa dunia. 
Selain data itu, rasa kebangsaan kita akan sangat terusik manakala membaca tabel penguasaan perusahaan asing atas wilayah sumber-sumber air, yang dibuat BPPSPAM. Betapa tidak, tabel itu menunjukkan asal negara perusahaan asing yang menguasai sumber-sumber air hampir di seluruh PDAM Indonesia. Asal negara tersebut meliputi: Perancis, USA, Singapura, Inggris, Jerman, Belanda, dan Australia. Ironisnya, pemerintah justru ingin melibatkan partisipasi swasta (perusahaan asing) dalam pelayanan air minum hingga mencapai target dengan cakupan 95%. Dengan dominasi perusahaan asing atas SDA di Indonesia, tidak diragukan lagi negara kehilangan kontrol dalam pengelolaan SDA. Pemerintah tidak mampu lagi melakukan kontrol terhadap volume produksi SDA yang dihasilkan, harga pokok produksi yang ditetapkan, dan cost of recorvery yang diajukan. Tidak mengherankan kalau muncul anomali yang berkaitan dengan besaran cost of recovery dengan volume produksi. Data menunjukkan bahwa besaran cost of recovery yang di anggaran di APBD cenderung meningkat setiap tahunnya, tetapi besaran volume produksi justru semakin turun. 
Ancaman penguasaan sektor hilir hingga kini belum terlalu dirasakan. PDAM masih menguasai di sektor hilir dalam penjualan air minum. Namun, tidak mustahil pada saatnya potensi pasar air minum yang menggiurkan akan direbut oleh perusahaan asing. Pasalnya, perusahaan asing sudah lama mengincar untuk bisa menguasai di sektor hilir. Selama harga air minum masih murah, perusahaan asing memang masih terbatas ruang geraknya, hanya dengan menjual dalam bentuk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Meskipun demikian, perusahaan asing seolah tanpa putus asa untuk bisa menguasai pasar air minum eceran dengan berbagai upaya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menekan pemerintah untuk menaikkan harga jual air minum. Dengan modus yang hampir serupa dalam penguasaan di sektor hulu, penguasaan hilir pun juga dilakukan secara sistematik dan legal. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2005 pasal 64 ayat (4) menyebutkan bahwa badan usaha swasta dan koperasi dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) pada daerah, wilayah atau kawasan yang belum terjangkau pelayanan BUMD/BUMN. Selanjutnya pada ayat (3) pasal yang sama disebutkan pelibatan koperasi dan badan usaha swasta dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui proses pelelangan. Kemudian ayat (4) menyebutkan pelelangan mencakup seluruh atau sebagian tahapan penyelenggaran pengembangan. Dari kedua dasar hukum tersebut dapat dilihat secara jelas bahwa pemerintah Indonesia membuka peluang bagi pihak swasta untuk turut serta mengelola sektor air di Indonesia bersama perusahaan negara maupun daerah Indonesia. 
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 294/PRT/M/2005, badan usaha pemegang izin usaha pengolahan dan usaha niaga dapat masuk ke usaha penyediaan dan pendistribusian SDA. Sejak diberlakukannya peraturan itu, perusahaan asing berusaha keras untuk masuk ke sektor retail SDA. Di Indonesia saat ini setidaknya sudah ada 25 investor swasta yang masuk ke bisnis air bersih. Itu baru bicara peluang di bisnis air bersih, belum termasuk bisnis AMDK. Berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), anggota asosiasi itu kini mencapai 165 perusahaan. Di luar Aspadin, ada 185 perusahaan AMDK lainnya yang masih aktif berproduksi. Semua perusahaan tadi, baik yang menjadi anggota Aspadin maupun tidak, menjual 600-an merek AMDK. Di antara anggota Aspadin, PT. Aqua Golden Mississippi Tbk. adalah pemain yang menguasai pasar domestik. Perusahaan yang kini sahamnya mayoritas dimiliki oleh Danone (perusahaan multinasional asal Perancis) itu menguasai lebih dari 45% pangsa pasar AMDK di Indonesia. Pada 2008 lalu Aqua menunjukkan kinerja yang positif. Laba bersihnya meningkat 24,91% atau naik dari Rp 65,91 miliar (2007) menjadi Rp 82,33 miliar. Peningkatan laba bersih ini akibat naiknya pendapatan perseroan. Pendapatan perseroan pada 2008 lalu mencapai Rp2,33 triliun atau naik lebih dari 19% dibanding tahun lalu yang Rp1,95 triliun.
Untuk menarik calon investor perusahaan asing, pemerintah akan memastikan adanya kenaikan tarif air secara berkala. Pemerintah juga akan menjamin ketersediaan sumber air baku secara berkesinambungan. Sistem penarifan juga dibuat menarik, di antaranya dengan mencakup biaya produksi dan seandainya pihak swasta bisa mengatasi tingkat kebocoran, bisnis air tentu akan sangat menguntungkan perusahaan asing. Iming-iming itulah yang membuat investor baik lokal maupun asing memburu bisnis air. Beberapa investor asing yang telah menancapkan kukunya di Indonesia adalah perusahaan asal Inggris, Biwater Plc., lewat anak perusahaannya Cascal BV, Citigroup Financial Products Inc., Compagnie de Suez, Veolia Environnement (dulu Vivendi Environnement) dari Perancis, dan RWE Group, induk perusahaan Thames Water, yang berpusat di Jerman, Water Supply Company Drenthe asal Belanda, dan PT. Petrosea Tbk., anak usaha Clough Group, Australia.
Masuknya swasta tentu saja akan membawa implikasi terhadap biaya penyediaan air dan harga air. Sudah menjadi fitrahnya jika perusahaan atau pengusaha yang menanamkan modal ke suatu industri berharap mendapatkan keuntungan yang besar. Masuknya pihak swasta membuat harga air menjadi makin mahal, sehingga masyarakat makin sulit mendapatkan air, utamanya orang miskin. Bangsa ini harus rela sekedar menjadi konsumen bagi perusahaan asing, yang menguasai SDA Indonesia. Sebagai bangsa yang berdaulat, Penguasaan SDA Indonesia oleh Perusahaan Asing memang sungguh sangat ironi.
Liberalisasi Sumber Daya Air (SDA) secara legal dan sistematis di Indonesia dari kegiatan usaha hulu sampai kegiatan usaha hilir dapat diselesaikan secara umum melalui beberapa tahapan, berupa penyelesaian secara parsial dan penyelesaian secara totalitas. Penyelesaian liberasasi SDA secara parsial dapat dilakukan dengan merevisi beberapa regulasi yang berhubungan langsung dengan pengelolaan SDA. Revisi UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA menuju lahirnya UU tentang SDA yang konstitusional dan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 294/PRT/M/2005 tentang izin usaha pengolahan dan usaha niaga  SDA menuju lahirnya UU yang menjadikan BUMN dalam hal ini PDAM menjadi single player. Revisi UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal menjadi UU penanaman modal yang penguasaan sektor SDA dikuasai oleh BUMN melalui PDAM hingga 100%. Revisi semua regulasi tentang SDA dan penanaman modal tersebut harus merupakan penjabaran UUD 1945 Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3.
Penyelesaian liberalisasi SDA secara totalitas adalah membuat sistem regulasi tentang SDA yang menganut prinsip bahwa SDA merupakan hak umum (public ownership), sehingga tidak boleh diprivatisasi. Sebaliknya, negara harus bisa menjamin kebutuhan rakyat akan SDA dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan negara. Karena itu, pengelolaan SDA harus diintegrasikan dengan kebijakan negara di bidang industri dan bahan baku sehingga masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri. Untuk memenuhi konsumsi kebutuhan domestik rakyatnya, negara bisa menempuh kebijakan berupa pendistribusian SDA kepada rakyat dengan harga murah. Kebijakan lain, mengambil keuntungan dari pengelolaan SDA untuk menjamin kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan termasuk sandang, papan, dan pangan. Dengan begitu, negara benar-benar akan bisa mengelola SDA secara mandiri dan tidak diintervensi oleh negara manapun. Jika itu terjadi, maka hasil dari pengelolaan SDA itu bukan hanya membawa kemakmuran bagi rakyatnya tetapi juga menjadi kekuatan bagi negara. Negara bukan saja mengalami swasembada SDA tetapi juga bisa menjadikan SDA sebagai kekuatan diplomasi. Tentu ini semua hanya bisa dijalankan pada negara yang menganut sistem yang benar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBUATAN BRIKET DARI ARANG CANGKANG KEMIRI HASIL PIROLISIS

OPTIMALISASI STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI CNS/ATM + AVIONICS DENGAN BERPEDOMAN PADA PERATURAN PENERBANGAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL

MENCIPTAKAN LAYANA INDAH DI DAERAH SALAH SATU SESAR GEMPA TERAKTIF DI DUNIA