LIBERALISASI MIGAS SECARA LEGAL – SISTEMATIS DAN SOLUSINYA





Suatu hal yang lazim di bangsa ini setiap pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akan selalu muncul protes, baik sebelum maupun sesudah pengambilan kebijakan menaikkan harga BBM. Bahkan, akhir – akhir ini ketika pemerintah menurunkan harga BBM jenis premium dan solar sejak 1 Januari 2016 karena harga BBM dunia turun, juga memunculkan protes dari masyarakat. Protes ini muncul disebabkan karena ketika harga BBM mengalami kenaikan, maka harga – harga kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan pula. Kenaikan harga kebutuhan pokok di masyarakat dapat memunculkan inflasi yang secara tidak langsung menimbulkan kemiskinan massal. Sedangkan, munculnya protes ketika harga BBM jenis premium turun dari Rp 7.300 per liter menjadi Rp 6.950 per liter dan solar dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.650 per liter sejak 5 Januari 2016 karena sebenarnya harga BBM (premium dan solar) masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara lain. Ini pun setelah harga BBM diturunkan pada tahun ini.
Tak perlu jauh-jauh, bila dibandingkan dengan harga di Malaysia misalnya. Di negeri jiran itu, harga premium (RON 95) ini sama dengan pertamax plus sejak 1 Januari 2016 sebesar Rp 5.916 per liter, sudah termasuk pajak dan solar dengan kadar sulfur 0,25 persen hanya sekitar Rp 5.117 per liter. Bisa dibayangkan, mutu yang lebih rendah di Indonesia karena RON di Indonesia hanya 88 dan kadar sulfur solar 0,35 persen tapi harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan di Malaysia. Demikian pula jika dibandingkan dengan harga di Amerika Serikat. Di negara tersebut, harga bensin RON 92 (setara pertamax di Indonesia) per 4 Januari 2016 tanpa pajak adalah 5.524 per liter (kurs Rp 13.967 per dolar AS), sudah termasuk pajak. Sementara harga pertamax di Indonesia saat ini mencapai Rp 8.450.
Munculnya protes tersebut mengindikasikan adanya permasalahan besar yang tersembunyi dalam pengelolaan dan regulasi BBM, utamanya yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri. Dimana kebutuhan BBM dalam negeri yang mengalami kenaikan, sedangkan produksi BBM mengalami penurunan. Dalam menghadapi permasalahan yang tersembunyi tersebut, solusi yang ditawarkan pemerintah selama ini terkesan sifatnya parsial atau tidak pernah menyentuh akar permasalahan di balik kenaikan kebutuhan BBM dan menurunnya produksi BBM dalam negeri. Salah satu akar masalahnya adalah privatisasi kekayaan minyak dan gas alam (migas) oleh negara kepada swasta atau asing secara legal dan sistematis. Privatisasi migas dilakukan bukan hanya kegiatan usaha hulu berupa eksplorasi dan eksploitasi, tetapi juga kegiatan usaha hilir berupa pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. Penguasaan swasta atau asing pada kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir migas dilakukan secara legal dan sitematis karena pelaksanaannya didukung sepenuhnya oleh Undang – Undang (UU).
Meskipun UUD 1945 Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 seharusnya menjadi dasar penyusunan UU tentang migas, dimana mengamanahkan kepada negara untuk menguasai ladang minyak yang terkandung di bumi Indonesia. Tetapi, justru UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas yang merupakan penjabaran UUD 1945 Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 sangat kontradiktif. Undang - Undang No. 22 Tahun 2001 Pasal 9 angka 1 tentang migas justru membuka peluang lebar-lebar bagi badan usaha swasta (perusahaan asing) untuk menguasai kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir secara besar – besaran. Liberalisasi migas juga disempurkan melalui UU No. 22 Tahun 2001 Pasal 28 angka 2 tentang migas, dimana harga BBM dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Pengurasan migas tersebut juga dikuatkan dengan terbitnya UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal, yang menyebutkan bahwa sektor migas dan pertambangan boleh dikuasai oleh perusahaan asing hingga 95%.
Berlakunya kedua UU tersebut telah mendorong dominasi perusahaan asing dalam pengolalaan migas dari kegiatan usaha hulu sampai kegiatan usaha hilir. Data badan pengatur (BP) migas 2012 menunjukkan bahwa 88% ladang migas dikuasai oleh perusahaan asing, 8% badan usaha milik swasta (BUMS) nasional dan badan usaha milik negara (BUMN), 4% konsorsium yang melibatkan oleh perusahaan asing. Selain data itu, rasa kebangsaan kita akan sangat terusik manakala membaca peta penguasaan perusahaan asing atas wilayah eksplorasi migas dan batubara, yang dibuat BP migas. Betapa tidak, peta itu menggambarkan bendera asal negara perusahaan asing yang menancap dan berkibar di hampir di seluruh peta wilayah Indonesia. Asal bendera tersebut, yaitu AS, UK, Belanda, Inggris, Perancis, Islandia, Italia, Australia, China, Korea Selatan, dan Malaysia.
Ironisnya, tidak ada satu pun bendera Merah Putih yang menancap dan berkibar di peta wilayah itu. Dengan dominasi perusahaan asing atas ladang migas di Indonesia dari kegiatan usaha hulu sampai kegiatan usaha hilir, tidak diragukan lagi negara kehilangan kontrol dalam pengelolaan migas. Pemerintah tidak mampu lagi melakukan kontrol terhadap volume produksi minyak yang dihasilkan, harga pokok produksi yang ditetapkan, dan cost of recorvery yang diajukan. Tidak mengherankan kalau muncul anomali yang berkaitan dengan besaran cost of recovery dengan volume produksi. Data menunjukan bahwa besaran cost of recovery yang dianggaran di APBN cenderung meningkat setiap tahunnya, tetapi besaran volume produksi justru semakin turun. Ancaman penguasaan sektor hilir memang hingga kini, Pertamina masih menguasai di sektor hilir dalam penjualan BBM melalui SPBU Pertamina. Namun, tidak mustahil pada saatnya potensi pasar BBM yang menggiurkan akan direbut oleh SPBU asing. Pasalnya, perusahaan asing sudah lama mengincar untuk bisa menguasai di sektor hilir.
Selama harga BBM masih disubsidi, SPBU asing memang masih terbatas ruang geraknya, hanya dengan menjual BBM jenis pertamax. Meskipun demikian, perusahaan asing seolah tanpa putus asa untuk bisa menguasai pasar BBM eceran dengan berbagai upaya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menekan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM dan melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dengan harapan akan terjadi migrasi dari premium ke pertamax. Dengan modus yang hampir serupa dalam penguasaan di sektor hulu, penguasaan hilir pun juga dilakukan secara sistemis dan legal. Melalui peraturan BPH migas No. 07 Tahun 2005 badan usaha pemegang izin usaha pengolahan dan usaha niaga dapat masuk ke usaha penyediaan dan pendistribusian BBM. Sejak diberlakukannya peraturan itu, perusahaan asing berusaha keras untuk masuk ke sektor retail BBM. Beberapa perusahaan asing yang sudah membangun SPBU di Indonesia, di antaranya Shell, Total Oil, dan Petronas.
Shell, perusahaan distributor asal Belanda, mulai ekspansi di Indonesia sejak 2005, dengan membangun 45 SPBU. Pada 2010 hingga 2012, Shell sudah membangun sebanyak 500 SPBU, yang terpusat di kota-kota besar pulau Jawa. Total Oil, distributor asal Prancis, pada 2006 baru membuka tiga SPBU di Jabodetabek. Pada 2011, Total sudah memiliki di 8 SPBU di seputar Jabodetabek dan merencanakan menambah SPBU lebih banyak lagi di Bogor, Bandung, Surabaya dan kota lainnya. Total saat ini baru menguasai 1% dari market share distribusi BBM di Indonesia. Total memperkirakan untuk merebut market share 5% - 6%, jika subsidi BBM dicabut. Perusahaan asing lain yang sangat ekspansif adalah Petronas. Perusahaan asal Malaysia tersebut saat ini memiliki 18 SPBU, 13 SPBU di antaranya berada di Jabodetabek, 1 terdapat di Bandung dan empat berada di Medan. Ironisnya, melalui peraturan BPH migas No. 07 Tahun 2005, perusahaan asing tidak diwajibkan membangun kilang minyak dan depo serta stok penyimpanan BBM. Selama ini perusahaan asing yang dijual BBM di Indonesia sebagian besar berasal dari impor. Padahal, Pertamina sudah membangun infrastruktur yang dibutuhkan, diantaranya 7 kilang minyak, ratusan depo dan puluhan tempat stok penyimpanan. Tidak mengherankan kalau harga pertamax di SPBU asing sering kali lebih murah dibanding harga jual pertamax di SPBU Pertamina. Hal ini disebabkan SPBU asing tidak membebankan biaya investasi infrastruktur, kecuali untuk pembangunan SPBU.
Dalam kondisi tersebut, pada saat subsidi untuk premium dan solar dicabut hingga keduanya mencapai harga keekonomian sejak 17 November 2014, dimana harga premium naik Rp 2.000 menjadi Rp 8.500 per liter dari sebelumnya Rp 6.500 per liter. Sementara harga solar naik Rp 2.000 dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500 per liter.  SPBU Pertamina akan kalah dalam bersaing dengan SPBU asing. Dengan struktur biaya yang lebih rendah dan pelayanan yang lebih baik, SPBU asing diperkirakan dengan mudah akan memenangkan persaingan yang berpotensi menggusur SPBU Pertamina di seantero wilayah nusantara. Jika penggusuran SPBU Pertamina oleh SPBU asing benar-benar terjadi, tidak bisa dihindari minyak Indonesia di sektor hulu dan hilir sepenuhnya akan dikuasai perusahaan asing. Bangsa ini harus rela sekedar menjadi konsumen bagi perusahaan asing, yang menguasai minyak Indonesia. Sebagai bangsa yang berdaulat, penguasaan minyak Indonesia oleh perusahaan asing mamang sungguh sangat ironis.
Liberalisasi migas secara legal dan sistematis di Indonesia dari kegiatan usaha hulu sampai kegiatan usaha hilir dapat diselesaikan secara umum melalui beberapa tahapan, berupa penyelesaian secara parsial dan penyelesaian secara totalitas. Penyelesaian liberasasi migas secara parsial dapat dilakukan dengan merevisi beberapa regulasi yang berhubungan langsung dengan pengelolaan migas. Revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi menuju lahirnya UU tentang migas yang konstitusional dan revisi peraturan BPH migas No. 07 Tahun 2005 tentang izin usaha pengolahan dan usaha niaga menuju lahirnya UU yang menjadikan BUMN dalam hal ini Pertamina menjadi single player. Revisi UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal menjadi UU penanaman modal yang penguasaan sektor migas dan pertambangan dikuasai oleh BUMN melalui Pertamina hingga 100%. Revisi semua regulasi tentang migas dan penanaman modal tersebut harus merupakan penjabaran UUD 1945 Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3.
Penyelesaian liberalisasi migas secara totalitas adalah membuat sistem regulasi tentang migas yang menganut prinsip bahwa energi merupakan hak umum (public ownership), sehingga tidak boleh diprivatisasi. Sebaliknya, negara harus bisa menjamin kebutuhan rakyat akan energi dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan negara. Karena itu, pengelolaan energi harus diintegrasikan dengan kebijakan negara di bidang industri dan bahan baku sehingga masing - masing tidak berjalan sendiri – sendiri. Untuk memenuhi konsumsi kebutuhan domestik rakyatnya. Negara bisa menempuh kebijakan berupa pendistribusian minyak, gas, dan energi lainnya kepada rakyat dengan harga murah. Kebijakan lain, mengambil keuntungan dari pengelolaan energi untuk menjamin kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan termasuk sandang, papan, dan pangan. Dengan begitu, negara benar – benar akan bisa mengelola energinya secara mandiri dan tidak diintervensi oleh negara manapun. Jika itu terjadi, maka hasil dari pengelolaan energi itu bukan hanya membawa kemakmuran bagi rakyatnya tetapi juga menjadi kekuatan bagi negara. Negara bukan saja mengalami swasembada energi tetapi juga bisa menjadikan energinya sebagai kekuatan diplomasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Rusia terhadap Uni Eropa dan AS. Tentu ini semua bisa dijalankan pada negara yang menganut sistem yang benar.

Note:

Dipublikasi pada Media Tadulako Edisi 71 Mei 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBUATAN BRIKET DARI ARANG CANGKANG KEMIRI HASIL PIROLISIS

OPTIMALISASI STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI CNS/ATM + AVIONICS DENGAN BERPEDOMAN PADA PERATURAN PENERBANGAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL

MENCIPTAKAN LAYANA INDAH DI DAERAH SALAH SATU SESAR GEMPA TERAKTIF DI DUNIA