TIKUS MATI DI LUMBUNG PADI





Pepatah “tikus mati di lumbung padi” bukan lagi sesuatu yang asing terdengar di negeri ini, khususnya pada Provinsi Sulawesi Tengah. Mengingat luas wilayah daratan Provinsi Sulawesi Tengah  mencapai 62.223 km2 dan wilayah laut seluas 193.923,75 km2, dengan panjang garis pantai 4.013 km2. Sementara Sulawesi Tengah memiliki memiliki potensi sumber daya alam yang begitu melimpah baik dari hasil perkebunan, peternakan, perikanan, pariwisata, pertambangan, maupun kehutanan. Dari sektor kehutananan, luas kawasan Provinsi Sulawesi Tengah sesuai SK MENHUT NO.757/KPTS-II/1999 Tanggal 23 September 1999 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan Provinsi Sulawesi Tengah, yaitu seluas 4.394.932 ha, dengan hutan produksi terbatas seluas 1.476.316 ha, hutan produksi tetap seluas 500.589 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 251.856 ha. Dengan kata lain total hutan produksi seluas 2.228.761 ha. Jumlah pohon tumbuh perhektar pertahun sebesar 118 pohon dan jika 20% kayu ditembang pilih pertahun. Berarti Sulawesi Tengah bias memiliki pemasukan pertahundari kayu pohon sebesar  2.228.761 ha x 118 pohon x 20% pohon x 400.000 = 21.039.503.840.000 pertahun. Dari sektor perikanan, jumlah ikan yang ditangkap tahun 2009 sebesar 146.177 ton dan jika harga ikan per kilogram sebesar 20.000. Berarti sulteng bisa memiliki pemasukan pertahun dari jual ikan sebesar 146.177 ton x 1000 kg x 20% x 20.000 = 584.708.000.000 pertahun. Namun yang terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah adalah masalah kemiskinan dari tahun ke tahun yang belum bisa dituntaskan sampai saat ini. menurut Badan Pusat Statistik tahun 2010, tingkat kemiskinan (%) menurut provinsi di Indonesia, Sulawesi Tengah berada pada posisi sepuluh terbesar provinsi termiskin dengan persentase 18,07% kemiskinan dari semua provinsi di Indonesia, angka ini berada di atas tingkat kemiskinan nasional 13,3%. 
Lalu kemana mengalirnya kekayaan Indonesia khususnya Sulawesi Tengah yang sangat besar tersebut? Ternyata kekayaan alam Indonesia khususnya Sulawesi Tengah telah dirampok oleh asing (negara-negara besar) bekerjasama dengan kaki tangan dan antek-anteknya di Indonesia. Fenomena ini dapat dilihat dari dikuasainya sektor-sektor strategis oleh pihak asing seperti sektor pertambangan, perindustrian, telekomunikasi, keuangan, dan sektor-sektor vital lainnya. Kekayaan itu bisa mengalir ke luar negeri atau ke pihak asing. Itu terjadi akibat kebijakan ekonomi yang salah, juga akibat adanya upaya pihak asing yang bekerjasama dengan konglomerat hitam serta pejabat korup untuk terus menguasai dan “menjajah” Indonesia. Kebijakan ekonomi yang salah dapat dilihat dari strategi pembangunan ekonomi yang sangat mendewakan “pertumbuhan ekonomi” dan mengabaikan distribusinya. Akibatnya, Pemerintah sejak awal lebih memihak konglomerat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut. Kekayaan alam tidak diolah dan didistribusikan manfaatnya untuk rakyat. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir konglomerat, sementara rakyat tetap melarat. 
Di samping itu, pihak asing terus mencengkeramkan pengaruhnya dengan mendikte Pemerintah melalui berbagai kebijakan seperti utang luar negeri, privatisasi dan pasar bebas yang akhirnya menjerat Pemerintah. Akibatnya, dana serta kekayaan rakyat dan negara mengalir ke luar negeri. Mengalirnya kekayaan itu ke pihak asing melalui berbagai macam cara, di antaranya: pertama utang luar negeri. Dana dalam negeri untuk membayar cicilan utang berupa pokok dan bunga mengalir jauh lebih besar dibandingkan dengan dana pinjaman itu sendiri. Sebagai gambaran, dari tahun 1996 sampai dengan 2000 penarikan dana dari utang luar negeri sebesar (US$) 117,514 miliar, sedangkan pembayaran utang (pokok dan bunga)-nya sebesar (US$) 135,807 milyar. Telah terjadi defisit sebesar (US$) 18,293 miliar. Secara ekonomi utang luar negeri berdampak sangat hebat. Meskipun diperoleh dana segar, negara penerima utang sangat bergantung pada negara atau lembaga yang memberi utang. Dampak negatif jangka pendek dari utang luar negeri yang jatuh tempo telah mengakibatkan terjadinya krisis moneter dan berdampak pada krisis ekonomi yang berkepanjangan. Secara politik, utang luar negeri menyebabkan kebijakan politik suatu negara diatur dan disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan negara donor. Secara ideologi, utang luar-negeri adalah sarana negara-negara Barat kapitalis untuk menyebarkan ideologi sekularisme sekaligus cara untuk merusak ideologi Islam. Secara budaya, utang luar negeri dengan persyaratan liberalisasinya adalah sarana untuk menyebarkan budaya Barat yang penuh dengan kemaksiatan. Kedua adalah privatisasi. Secara pasti dengan adanya privatisasi, keuntungan usaha akan jatuh ke tangan swasta. Jika swasta itu adalah pihak asing maka hasil keuntungannya akan dinikmati oleh pihak asing. Contoh untuk kasus ini bisa dilihat dari PT Freeport, PT Caltex, Exxon Mobil dan lain sebagainya. Ketiga adalah pasar bebas. Pasar bebas membuka peluang masuknya modal (investasi) dan produk dari negara-negara lain (negara-negara kaya seperti AS dan Eropa) dari yang sebelumnya terproteksi dan tertutup. Akibatnya, bukan persaingan bebas yang terjadi, tetapi dominasi negara kaya terhadap negara berkembang dalam hal modal dan produk.
Semua itu tentu tidak bisa berlangsung tanpa peran serta orang Indonesia sendiri yang berperan sebagai komprador. Memang, perampokan kekayaan negara, termasuk sumberdaya alam Indonesia, oleh negara-negara asing berjalan lancar karena adanya kerjasama dengan pejabat korup, konglomerat hitam serta bantuan dari kaki tangan dan antek-antek asing yang menjadi tim ekonomi Pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum, para komprador tersebut dikenal dengan Mafia Berkeley yang bercokol sejak masa lahirnya Orde Baru hingga saat ini. Mafia Berkeley ini memiliki jaringan internasional yang kuat dan luas seperti, USAID, IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. Mafia Berkeley ini tidak bekerja sendirian. Mereka dibantu lembaga-lembaga donor asing dalam menentukan kebijakan termasuk mempersiapkan kebijakan perundang-undangan. Munculnya UU Kelistrikan, Sumber Daya Air (SDA), Penanaman Modal, Migas dan lainnya tak lepas dari campur tangan kekuatan asing. Kondisi seperti itu aliran kekayaan rakyat dan negara kepada asing dan sekelompok kecil itu tidak akan bisa distop atau bahkan dihapus. Selama negeri ini masih menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang menerapkan ekonomi liberal dengan kebijakan privatisasi, pasar bebas dan globalisasinya, serta tidak diterapkannya sistem ekonomi yang mengatur pengelolaan kekayaan rakyat dan negara dengan sebaik-baiknya, serta masih berkuasanya pihak asing melalui agen-agennya yang sekarang masih terlibat dalam pemerintahan baik pusat maupun daerah, maka aliran kekayaan rakyat dan negara akan terus mengalir kepada pihak asing.
Aliran kekayaan rakyat dan negara ke asing itu bisa dihentikan atau dicegah dengan syariah Islam. Syariah Islam dengan berbagai perangkat aturannya dapat menghentikan bahkan mencegah terjadinya aliran dana kepada pihak asing. Adapun aturan-aturan tersebut adalah: Pertama, dari sisi kebijakan pengelolaan kekayaan milik umum, Islam melarang sumberdaya milik umum dikuasai dan dikelola oleh swasta bahkan wajib dikelola oleh negara. Dalam hal ini, Islam melarang adanya privatisasi terhadap kepemilikan umum apapun alasannya. Dengan kata lain, kepemilikan umum tidak boleh dikuasai oleh swasta apalagi pihak asing. Kedua, dari sisi kebijakan kepemilikan, harus diterapkan konsep kepemilikan menurut Islam. Kaum Muslim tidak boleh menerima Politik Pasar Bebas yang dipropagandakan dengan gencar dan luas oleh AS dan negara-negara Barat. Sebab, strategi tersebut merupakan penerapan kebebasan hak milik yang diserukan oleh sistem Kapitalisme. Jelas ini bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Apalagi, Politik Pasar Bebas juga akan menghalang-halangi negeri-negeri Islam untuk membebaskan diri dari belenggu kekufuran dan orang-orang kafir. Jelas ini adalah perkara yang diharamkan oleh Allah Swt. Ketiga, kaum Muslim harus menghentikan dan menghindarkan diri dari utang luar negeri yang penuh dengan riba dan madarat. Mekanisme utang luar telah mengakibatkan berbagai kerusakan dan bahaya bagi negara-negara penerima utang. Atas dasar ini, kaum Muslim harus berhati-hati terhadap utang luar negeri yang diberikan negara-negara donor. Sebab, utang luar negeri yang dapat memberikan bahaya adalah haram hukumnya. Apalagi bahwa bantuan tersebut tidak terlepas dari sistem ribawi (bunga pinjaman) yang sangat dilarang di dalam Islam.
Tentu saja penerapan sistem pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab menjadi sesuatu yang mutlak. Aparat pemerintahan haruslah diisi orang yang profesional dan beretos kerja tinggi serta amanah sehingga korupsi tidak terjadi. Di samping itu negara haruslah memberikan gaji dan fasilitas yang cukup agar aparatur negara terpenuhi kebutuhannya sehingga tidak terdorong untuk melakukan korupsi karena tidak terpenuhinya kebutuhan mereka. Selain itu, juga harus diberlakukan hukum yang tegas dan membuat jera kepada para pelaku kejahatan ekonomi baik yang dilakukan pengusaha maupun aparat pemerintahan. Dengan hukum yang tegas, para penjahat ekonomi berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan ekonomi. Tidak seperti sekarang, para konglomerat hitam dan koruptor yang melakukan kejahatan ekonomi tidak dihukum berat bahkan sebaliknya diberikan bantuan dengan berbagai program dan fasilitas yang menggunakan uang rakyat dan negara. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBUATAN BRIKET DARI ARANG CANGKANG KEMIRI HASIL PIROLISIS

OPTIMALISASI STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI CNS/ATM + AVIONICS DENGAN BERPEDOMAN PADA PERATURAN PENERBANGAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL

MENCIPTAKAN LAYANA INDAH DI DAERAH SALAH SATU SESAR GEMPA TERAKTIF DI DUNIA