IRONI SUBSTANSIAL BPJS KESEHATAN DAN SOLUSINYA
Judul tulisan yang
menarik untuk di kaji lebih mendalam pada salah satu surat kabar nasional (20/6)
adalah Bupati Subang gunakan dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan untuk cicil utang kampanye. Kasus ini menunjukkan fenomena gunung es
pada manajemen BPJS Kesehatan. Dalam kondisi manajemen BPJS Kesehatan yang
amburadul, justru Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19
Tahun 2016 menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri atau
membayar sendiri. Adapun perubahan iuran tersebut adalah pelayanan perawatan
kelas III menjadi Rp 30.000, naik dari sebelumnya Rp 25.500 per bulan; kelas II
menjadi Rp 51.000, naik dari sebelumnya 42.500 per bulan; dan kelas I menjadi
Rp 80.000, naik dari sebelumnya 59.500 per bulan. Dalam Perpres Nomor 19 Tahun
2016 juga mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi sebagian Pekerja Penerima
Upah, yaitu yang gaji atau upahnya berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
di atas Rp 4,72 juta perbulan. Pasalnya, Perpres Nomor 19 Tahun 2016 mengubah
batas atas gaji yang dijadikan dasar perhitungan iuran dari 2 kali PTKP sebesar
Rp 9,44 juta menjadi 8 juta. Kenaikan iuran tersebut akan ditanggung oleh
pekerja dan pemberi kerja. Semua kenaikan besaran iuran berlaku mulai tanggal 1
April 2016 dan ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 16F dalam Perpres Nomor
19 Tahun 2016.
Dalam Perpres Nomor
19 Tahun 2016 Pasal 17 juga diatur sanksi berupa denda dan sanksi administratif
terkait peserta yang tidak membayar iuran tersebut. Dimana dalam Pasal tersebut
dijelaskan bahwa jika peserta terlambat membayar iuran jaminan kesehatan lebih
dari satu bulan sejak tanggal 10, penjaminan peserta diberhentikan sementara.
Aturan ini berlaku sejak tanggal 1 Juni 2016. Penjaminan akan diaktifkan
kembali jika peserta membayar iuran tersebut. Jika dalam waktu 45 hari sejak
status kepesertaan aktif kembali, peserta wajib membayar denda BPJS Kesehatan
untuk setiap pelayanan kesehatan rawat inap yang diperoleh. Besaran denda itu
adalah 2,5% dari biaya pelayanan kesehatan untuk setiap bulan tertunggak.
Adapun jumlah bulan tertunggak maksimal 12 bulan dan nilai denda paling tinggi
Rp 30 juta. Opini umum yang berkembang selama ini, bahwa alasan Pemerintah
menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri atau membayar sendiri dan kenaikan
akibat adanya perubahan batas atas gaji atau upah terhadap PTKP adalah untuk
menutupi defisit pengelolaan BPJS Kesehatan yang totalnya mencapai lebih dari
Rp 6 triliun. Alasan bahwa kenaikkan iuran BPJS tersebut disebabkan karena
defisit, tidak dibenarkan oleh Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi.
Menurut dia, yang terjadi adalah adanya mismatch
atau ketidaksesuaian, yakni ketidaksesuaian jumlah iuran yang dibayarkan
peserta dengan pengeluaran berupa klaim peserta BPJS Kesehatan. Sehingga, salah
satu solusinya adalah dengan adanya penyesuaian iuran. BPJS Kesehatan dan Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan ada 4,2 juta peserta BPJS Kesehatan
yang tidak membayar iuran. Jumlah itu sekitar 40% dari total peserta mandiri.
Rencana kenaikan
iuran BPJS Kesehatan tersebut, mendapat reaksi dari DPR, organisasi dan
pemerhati kebijakan publik terkait kesehatan. Komisi IX DPR meminta empat point
pertanggungjawaban BPJS Kesehatan terlebih dulu sebelum menaikkan iuran, yaitu
menyangkut pelayanan kesehatan yang belum memuaskan, kinerja BPJS Kesehatan
terkait peningkatan kepesertaan mandiri, audit investigasi terkait transparansi
laporan keuangan atau penggunaan anggaran dan laporan pendistribusian kartu
Penerima Bantuan Iuran (PBI). Organisasi lain yang memberikan reaksi terkait
kenaikan tersebut adalah Perkumpulan Prakarsa dan Yayasan Pemberdayaan Konsumen
Kesehatan Indonesia. Perkumpulan Prakarsa menilai kebijakan tersebut tidak adil,
jika argumen BPJS Kesehatan terkait keharusan kenaikan iuran sebagai akibat
dari defisit berjalan sebesar Rp 4 triliun. Pasalnya, menurut Ah Maftuchan sebagai
Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa menilai BPJS Kesehatan menutup mata
adanya ketidakefisienan dan kebocoran yang terjadi dalam pelayanan BPJS
Kesehatan. Maftuchan juga menyatakan, kenaikan tarif BPJS Kesehatan akan
membuat beban ekonomi masyarakat lebih besar dan akses masyarakat terhadap
jaminan kesehatan akan makin sulit serta peserta mandiri terancam menjadi
kelompok “Sadikin” (Sakit Sedikit Jatuh Miskin). Marius Widjajarta sebagai
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia mengungkapkan bahwa
BPJS menyatakan pelayanan yang selama ini bagus, akan lebih bagus lagi kalau
ada penambahan iuran. Beliau mengatakan masyarakat merasa dibodohi, jika
mengetahui manajemen yang amburadul dari BPJS Kesehatan dan dari hasil investigasi
ke BPJS menyimpulkan bahwa posisi keuangan BPJS Kesehatan sekarang ini akibat
kesalahan manajemen.
Dari
data-data terkait BPJS Kesehatan yang ada, dapat disimpulkan bahwa BPJS
Kesehatan mengandung roh pengalihan tanggung jawab dari pundak negara ke pundak
rakyat. Jaminan kesehatan yang merupakan hak rakyat dan menjadi tanggung jawab negara diubah menjadi kewajiban rakyat.
Tentu penerapan Perpres Nomor 19 Tahun 2016 sangat kontradiktif dengan
Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 sebagai induk aturan yang berlaku di
bangsa ini. Dijelaskan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H
Ayat 1 bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”, serta dalam UUD Tahun 1945 Pasal 34 Ayat 3
bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Namun dalam manajemen BPJS Kesehatan,
Rakyat diwajibkan untuk saling membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka
melalui sistem asuransi sosial. Jadilah hak rakyat disulap menjadi kewajiban
rakyat dalam pembiayaan pelayanan kesehatan. Dengan kebijakan yang sama,
kewajiban negara untuk menjamin hak rakyat atas pelayanan kesehatan
dihilangkan.
Klaim BPJS Kesehatan
sebagai lembaga penjamin kesehatan juga sangat menyesatkan. Pasalnya, BPJS
identik dengan asuransi sosial. Hal ini, disebabkan karena pada prinsipnya
asuransi sosial menurut UU SJSN Pasal 1 Ayat 3 adalah suatu mekanisme
pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran dan guna
memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta atau
anggota keluarganya. Akibatnya, pelayanan kesehatan untuk rakyat disandarkan
pada premi yang dibayarkan oleh rakyat. Jika rakyat tidak mampu membayar, maka
mereka tidak berhak atas pelayanan kesehatan. Karena sifatnya wajib, jika telat
atau tidak membayar maka rakyat (peserta asuransi sosial kesehatan) dikenai
sanksi baik denda atau sanksi administratif. Pelayanan kesehatan rakyat juga
tergantung pada jumlah premi yang dibayar oleh rakyat. Jika tidak cukup antara
pengeluaran berupa klaim dengan pemasukan dari iuran, maka iuran harus
dinaikkan. Itulah ide dasar operasional atau substansial BPJS dan sebab
mendasar kenaikan iuran BPJS.
BPJS
Kesehatan dengan sistem asuransi sosial yang mengubah pelayanan kesehatan dari
hak rakyat dan kewajiban negara menjadi kewajiban rakyat, terlepas dari pundak
negara, jelas itu merupakan ironi. Iuran yang diwajibkan terhadap rakyat jelas
merupakan sesuatu yang kontradiktif. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan artinya
menambah beban hidup terhadap rakyat. Di sisi lain, kekayaan alam yang
sejatinya adalah milik bersama seluruh rakyat, justru di privatisasi kepada
swasta yang kebanyakan adalah asing. Rakyat dan negara pun kehilangan sumber
dana yang semestinya bisa digunakan membiayai jaminan kesehatan untuk rakyat,
tanpa memungut dari rakyat. Akibatnya, rakyat kehilangan kekayaannya dan masih
dipaksa membayar iuran untuk pelayanan kesehatan mereka. Idealnya kebutuhan
akan pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat menjadi
kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan
fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat dalam terapi pengobatan dan
berobat. Jadi pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas
publik. Negara wajib menyediakan semua itu untuk rakyat. Negara wajib mengurus
urusan dan kemaslahatan rakyat, termasuk pelayanan kesehatan. Pelayanan
kesehatan gratis itu diberikan dan menjadi hak setiap individu rakyat sesuai
dengan kebutuhan layanan kesehatan tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.
Pemberian jaminan kesehatan seperti ini tentu membutuhkan dana besar. Biaya
untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara. Diantaranya dari
hasil pengelolaan harta negara, di antaranya hutan, hasil laut, berbagai macam
tambang, minyak dan gas. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan pada negara yang
mengandung sistem yang terintegrasi pada semua bidang dengan baik.
Komentar
Posting Komentar